Iklan
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu
‘anhu, beliau menuturkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah shalat bersama kami di bulan Ramadhan sebanyak 8 raka’at lalu
beliau berwitir. Pada malam berikutnya, kami pun berkumpul di masjid
sambil berharap beliau akan keluar. Kami terus menantikan beliau di situ
hingga datang waktu fajar. Kemudian kami menemui beliau dan bertanya,
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami menunggumu tadi malam, dengan
harapan engkau akan shalat bersama kami.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab, “Sesungguhnya aku khawatir kalau akhirnya shalat
tersebut menjadi wajib bagimu.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari [2012]
dalam kitab Shalatut Tarawih dan Muslim [761] dalam kitab Shalatul
Musafirin. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa derajat hadits ini hasan).
Dari Abu Salamah bin Abdirrahman
radhiyallahu ‘anhu, dia mengabarkan bahwa dia pernah bertanya pada
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Bagaimana shalat malam Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan?”. ‘Aisyah mengatakan,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah
raka’at dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat
lainnya lebih dari 11 raka’at.” (HR. Al-Bukhari [1147] dan Muslim
[738]).
Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau
berkata, “Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di malam hari
adalah 13 raka’at.” (HR. Al-Bukhari [1138] dan Muslim [764]).
Sebagian ulama mengatakan bahwa shalat
malam yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 11
raka’at. Adapun dua raka’at lainnya adalah dua raka’at ringan yang
dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembuka
melaksanakan shalat malam, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibn Hajar
dalam Fathul Bari [4/123].
Ibn Hajar al-Haitsamiy mengatakan, “Tidak ada satu hadits shahih pun yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat Tarawih 20 raka’at. Adapun hadits yang mengatakan “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat (Tarawih) 20 raka’at”, ini adalah hadits yang sangat-sangat lemah.” (Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Quwaitiyyah [2/9635]).
Ketika Umar bin Khaththab radhiyallahu
‘anhu menjabat khalifah, beliau melihat manusia shalat di masjid pada
malam bulan Ramadhan, maka sebagian mereka ada yang shalat sendirian dan
ada pula yang shalat secara berjama’ah. Kemudian beliau mengumpulkan
manusia dalam satu jama’ah dan dipilihlah Ubay bin Ka’ab radhiyallahu
‘anhu sebagai imam. (Lihat Shahih Al-Bukhari pada kitab Shalat Tarawih).
Al-Kasaani rahimahullahu mengatakan,
“Umar mengumpulkan para sahabat untuk melaksanakan qiyamu Ramadhan lalu
diimami oleh Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu. Lalu shalat tersebut
dilaksanakan 20 raka’at. Tidak ada seorang pun yang mengingkarinya
sehingga pendapat ini menjadi ijma’ atau kesepakatan para sahabat.”
(Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah [2/9636]).
Ibn At-Tin rahimahullahu dan lainnya
berkata, “Umar menetapkan hukum itu dari pengakuan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam terhadap orang yang shalat bersama beliau pada
malam-malam tersebut, walaupun beliau tidak senang hal itu bagi mereka,
karena tidak senangnya itu lantaran khawatir menjadi kewajiban bagi
mereka. Tetapi setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, maka
dinilai aman dari rasa khawatir tersebut dan hal itu menjadi pegangan
bagi Umar, karena perbedaan dan menimbulkan perpecahan umat, dan karena
persatuan akan lebih mempergiat banyak para umat yang menjalankan
shalat.”
Mengenai penamaan Tarawih (istirahat),
karena para jama’ah yang pertama kali berkumpul untuk qiyamu Ramadhan
ber-istirahat setelah dua kali salam (yaitu setelah melaksanakan 2
raka’at ditutup dengan salam kemudian mengerjakan 2 raka’at lagi lalu
ditutup dengan salam). (Lisanul Arab [2/462] dan Fathul Bari [4/294]).
Hukum Shalat Tarawih
Menurut Imam An-Nawawi rahimahullahu,
yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan adalah shalat Tarawih dan ulama
telah bersepakat bahwa shalat Tarawih hukumnya mustahab (sunnah). (Syarh
Shahih Muslim [6/282]). Dan beliau menyatakan pula tentang kesepakatan
para ulama tentang sunnahnya hukum shalat Tarawih ini dalam Syarh Shahih
Muslim [5/140] dan Al-Majmu’ [3/526].
Al-Hafizh Ibn Hajar rahimahullahu
memperjelas kembali tentang hal tersebut: “Maksudnya bahwa qiyamu
Ramadhan dapat diperoleh dengan melaksanakan shalat Tarawih dan bukanlah
yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan hanya diperoleh dengan
melaksanakan shalat Tarawih saja (dan meniadakan amalan lainnya).”
(Fathul Bari [4/295]).
Bahkan menurut ulama Hanafiyah,
Hanabilah, dan Malikiyyah, hukum shalat Tarawih adalah sunnah
mu’akkad (sangat dianjurkan). Shalat ini dianjurkan bagi laki-laki dan
perempuan.
Keutamaan Shalat Tarawih
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
melakukan qiyamu Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka
dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (Diriwayatkan Al-Bukhari
[1901] dalam kitab Ash-Shaum dan Muslim [760] dalam kitab Shalatul
Musafirin).
Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengumpulkan keluarga
dan para sahabatnya. Lalu beliau bersabda, “Siapa yang shalat (malam)
bersama imam hingga ia selesai, maka ditulis untuknya pahala
melaksanakan shalat satu malam penuh.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud
[1375] dalam kitab Ash-Shalah; At-Tirmidzi [806] dalam kitab Ash-Shiam;
An-Nasa’i [1605] dalam kitab Qiyamul Lail; dan Ibn Majah [1327] dalam
kitab Iqamatush Shalah. At-Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shahih).
Berkenaan dengan hadits di atas, Imam Ibn
Qudamah rahimahullahu mengatakan, “Dan hadits ini adalah khusus pada
qiyamu Ramadhan (Tarawih).” (Al-Mughni [2/606]).
Jumlah Raka’at Shalat Tarawih
Ibn Abdil Barr rahimahullahu mengatakan,
“Sesungguhnya shalat malam tidak memiliki batasan jumlah raka’at
tertentu. Shalat malam adalah shalat nafilah(yang dianjurkan), termasuk
amalan dan perbuatan baik. Siapa saja boleh mengerjakan sedikit raka’at.
Siapa yang mau juga boleh mengerjakan banyak.” (At-Tamhid [21/70]).
Hal ini sesuai dengan sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Shalat malam adalah dua raka’at dua
raka’at. Jika engkau khawatir masuk waktu Subuh, lakukanlah shalat Witir
satu raka’at.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Begitu pula anjuran Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk memperbanyak sujud dalam sabda beliau, “Bantulah
aku (untuk mewujudkan cita-citamu) dengan memperbanyak sujud (shalat).”
(HR. Muslim [489]).
Shalat tarawih 11 atau 13 raka’at yang
dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah pembatasan.
Sehingga para ulama dalam pembatasan jumlah raka’at shalat Tarawih ada
beberapa pendapat. Ada sebagian ulama yang membatasinya dengan 11
raka’at. Mayoritas ulama mengatakan shalat Tarawih adalah 20 raka’at
(belum termasuk Witir).
Ulama lainnya mengatakan lagi bahwa
shalat Tarawih adalah 39 raka’at dan sudah termasuk Witir. Juga ada yang
mengatakan bahwa shalat Tarawih adalah 40 raka’at dan belum termasuk
Witir. Bahkan Imam Ahmad bin Hambal melaksanakan shalat malam di bulan
Ramadhan tanpa batasan bilangan.
Syaikhul Islam Ibn Taimiyah rahimahullahu
mengatakan, “Semua jumlah raka’at di atas boleh dilakukan. Melaksanakan
shalat malam di bulan Ramadhan dengan berbagai macam cara tadi itu
sangat bagus. Dan memang lebih utama adalah melaksanakan shalat malam
sesuai dengan kondisi para jama’ah. Kalau jama’ah kemungkinan senang
dengan raka’at-raka’at yang panjang, maka lebih bagus melakukan shalat
malam dengan 10 raka’at ditambah dengan Witir 3 raka’at, sebagaimana hal
ini dipraktekkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri di
bulan Ramdhan dan bulan lainnya. Dalam kondisi seperti itu, demikianlah
yang terbaik. Namun apabila para jama’ah tidak mampu melaksanakan
raka’at-raka’at yang panjang, maka melaksanakan shalat malam dengan 20
raka’at itulah yang lebih utama. Seperti inilah yang banyak dipraktekkan
oleh banyak ulama. Shalat malam dengan 20 raka’at adalah jalan
pertengahan antara jumlah raka’at shalat malam yang sepuluh dan yang
empat puluh. Kalaupun seseorang melaksanakan shalat malam dengan 40
raka’at atau lebih, itu juga diperbolehkan dan tidak dikatakan makruh
sedikitpun. Bahkan para ulama juga telah menegaskan dibolehkannya hal
ini semisal Imam Ahmad dan ulama lainnya. Oleh karena itu, barangsiapa
yang menyangka bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki batasan
bilangan tertentu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga tidak
boleh lebih atau kurang dari 11 raka’at, maka sungguh dia telah
keliru.” (Majmu’ Al-Fatawa [22/272]).
Tata Cara Pelaksanaan Shalat Tarawih
Niat Shalat
Niat shalat Tarawih, sebagaimana juga
shalat-shalat yang lain cukup diucapkan di dalam hati, yang terpenting
adalah niat hanya karena Allah Ta’ala semata dengan hati yang ikhlas dan
mengharapkan ridha-Nya, apabila ingin dilafalkan jangan terlalu keras
sehingga mengganggu Muslim lainnya.
Niat shalat Tarawih 2 raka’at adalah:
“Ushalli sunnatat taraawiihi rak’ataini (ma’muman/imaaman) lillahi
ta’aalaa” (Aku niat shalat Tarawih dua rakaat (menjadi ma’mum/imam)
karena Allah Ta’ala).
Dan apabila mengerjakan shalat Tarawih 2
kali 4 raka’at masing-masing dengan sekali salam setiap selesai 4
raka’at, maka niatnya disesuaikan menjadi “arbaa raka’ataini”.
Memanjangkan Bacaan Shalat
Setelah penjelasan mengenai jumlah
raka’at shalat Tarawih di atas, tidak ada masalah untuk mengerjakan
shalat 11 atau 23 raka’at. Namun yang terbaik adalah yang dilakukan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan berdiri yang agak lama. Dan
boleh juga melakukan shalat Tarawih dengan 23 raka’at dengan berdiri
yang lebih ringan sebagaimana banyak dipilih oleh mayoritas ulama.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik shalat adalah yang lama berdirinya.” (HR. Muslim [756]).
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang shalat
mukhtashiran.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
mukhtashiran.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Sebagian ulama
menafsirkan ikhtishar (mukhtashiran) dalam hadits ini adalah shalat yang
ringkas (terburu-buru), tidak ada thuma’ninah ketika membaca surat,
ruku’ dan sujud. (Lihat Syarh Bulughul Maram, Syaikh ‘Athiyah Muhammad
Salim [49/3]).
Istirahat Tiap Selesai Empat Raka’at
Para ulama sepakat tentang disyari’atkannya istirahat setiap melaksanakan shalat Tarawih empat raka’at. Inilah yang sudah turun
temurun dilakukan oleh para salaf. Namun tidak mengapa kalau tidak istirahat ketika itu. Dan juga tidak disyari’atkan untuk membaca do’a tertentu ketika melakukan istirahat. Inilah pendapat yang benar dalam madzhab Hambali. (Lihat Al-Inshaf [3/117]).
temurun dilakukan oleh para salaf. Namun tidak mengapa kalau tidak istirahat ketika itu. Dan juga tidak disyari’atkan untuk membaca do’a tertentu ketika melakukan istirahat. Inilah pendapat yang benar dalam madzhab Hambali. (Lihat Al-Inshaf [3/117]).
Dasar dari hal ini adalah perkataan
‘Aisyah yang menjelaskan tata cara shalat malam Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat 4
raka’at, maka janganlah tanyakan mengenai bagus dan panjang raka’atnya.
Kemudian beliau melaksanakan shalat 4 raka’at lagi, maka janganlah
tanyakan mengenai bagus dan panjang raka’atnya.” (HR. Al-Bukhari [3569]
dan Muslim [738]).
Salam Setiap Dua Raka’at
Para pakar fiqh berpendapat bahwa shalat
Tarawih dilakukan dengan salam setiap dua raka’at. Karena Tarawih
termasuk shalat malam. Sedangkan shalat malam dilakukan dengan dua
raka’at salam dan dua raka’at salam.
Dasarnya adalah sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Shalat malam adalah dua raka’at dua raka’at.” (HR.
Al-Bukhari dan Muslim).
Ulama-ulama Malikiyah mengatakan,
“Dianjurkan bagi yang melaksanakan shalat Tarawih untuk melakukan salam
setiap dua raka’at dan dimakruhkan mengakhirkan salam hingga empat
raka’at. Yang lebih utama adalah salam setelah dua raka’at.” (Lihat
Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah [2/9640]).
Lebih Utama Mana Shalat Tarawih Berjama’ah atau Sendiri?
Dalam masalah ini terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama,
yang utama adalah dilaksanakan secara berjama’ah. Ini adalah pendapat
Imam Asy-Syafi’i dan sebagian besar sahabatnya, juga pendapat Abu
Hanifah dan Imam Ahmad (Masaailul Imam Ahmad, hal. 90) dan disebutkan
pula oleh Ibn Qudamah dalam Al-Mughni [2/605] dan Al-Mirdawi dalam
Al-Inshaf [2/181] serta sebagian pengikut Imam Malik dan lainnya,
sebagaimana yang telah disebutkan Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih
Muslim [6/282].
Pendapat ini merupakan pendapat jumhur
ulama (Al-Fath [4/297]) dan pendapat ini pula yang dipegang Syaikh
Al-Albani rahimahullahu, beliau berkata, “Disyari’atkan shalat
berjama’ah pada qiyam bulan Ramadhan, bahkan ia (shalat Tarawih dengan
berjama’ah) lebih utama daripada (dilaksanakan) sendirian.” (Qiyamu
Ramadhan, hal. 19-20).
Selanjutnya beliau berkata, “Apabila
permasalahan seputar antara shalat (Tarawih) yang dilaksanakan pada
permulaan malam secara berjama’ah dengan shalat (yang dilaksanakan) pada
akhir malam secara sendiri-sendiri maka shalat (Tarawih) dengan
berjama’ah lebih utama karena terhitung baginya qiyamul lail yang
sempurna.” (Qiyamu Ramadhan, hal. 26).
Ulama-ulama Hanabilah (pengikut madzhab
Hambali) mengatakan bahwa seutama-utamanya shalat sunnah adalah shalat
yang dianjurkan dilakukan secara berjama’ah. Karena shalat seperti ini
hampir serupa dengan shalat fardhu. Kemudian shalat yang lebih utama
lagi adalah shalat rawatib (shalat yang mengiringi shalat fardhu,
sebelum atau sesudahnya). Shalat yang paling ditekankan dilakukan secara
berjama’ah adalah shalat kusuf (shalat gerhana) kemudian shalat
Tarawih. (Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah [2/9633]).
Pendapat kedua,
yang utama adalah dilaksanakan sendiri-sendiri. Ini adalah pendapat
Imam Malik dan Abu Yusuf serta sebagian pengikut Imam Asy-Syafi’i. Hal
ini sebutkan pula oleh Imam An-Nawawi. (Syarh Shahih Muslim [6/282]).
Dari sahabat Zaid bin Tsabit radhiyallahu
‘anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai
manusia, shalatlah di rumah kalian! Sesungguhnya shalat yang paling
utama adalah shalatnya seseorang yang dikerjakan di rumahnya kecuali
shalat yang diwajibkan.” (Muttafaqun ‘alaih).
Dengan hadits inilah mereka mengambil
dasar akan keutamaan shalat Tarawih yang dilaksanakan di rumah dengan
sendiri-sendiri dan tidak dikerjakan secara berjama’ah. (Nashbur Rayah
[2/156] dan Syarh Shahih Muslim [6/282]).
Pengikut Imam Malik, bertanya kepadanya:
Bagaimana beliau melakukan Qiyamul Lail di bulan Ramadhan, lebih disukai
yang mana berjama’ah dengan orang banyak atau dilaksanakan sendiri di
rumah? Imam Malik menjawab: Kalau dilaksanakan sendiri di rumah itu kuat
dan lama. Saya lebih suka. Tetapi kebanyakan kaum Muslimin tidak kuat
dan malas melaksanakan shalat sendiri di rumah.
Imam At-Tirmidzi dan Imam Rabi’ah melaksanakannya sendiri di rumah begitu juga ulama-ulama lain.
Do’a Setelah Shalat Tarawih
Tidak ada do’a khusus yang dianjurkan
untuk dibaca setelah shalat Tarawih yang bersumber dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang ada setelah shalat Witir sebagaimana
disebutkan dalam sebuah riwayat dari Ubay bin Ka’ab, ia berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat Witir (pada
raka’at pertama) membaca sabbihisma rabbikal a’la dan pada raka’at kedua
membaca qul yaa ayyuhal kaafiruun dan pada raka’at ketiga membaca qul
huwallahu ahad, beliau tidak melakukan salam kecuali pada raka’at
terakhir. Dan setelah salam beliau mengucapkan subhanal malikil quddus,
tiga kali.” (HR. An-Nasa’i [1683]).
Terimakasih Atas Kunjungannya
Judul: Sejarah Shalat Tarawih
Ditulis oleh Virman Nugraha
Rating Blog 5 dari 5
Item Reviewed: Sejarah Shalat Tarawih
Semoga artikel Sejarah Shalat Tarawih ini bermanfaat bagi saudara. Silahkan membaca artikel kami yang lain.
Judul: Sejarah Shalat Tarawih
Ditulis oleh Virman Nugraha
Rating Blog 5 dari 5
Item Reviewed: Sejarah Shalat Tarawih
Semoga artikel Sejarah Shalat Tarawih ini bermanfaat bagi saudara. Silahkan membaca artikel kami yang lain.
Iklan
0 komentar:
Posting Komentar